Oleh: Chablullah Wibisono
BATAM — Di tengah lantunan takbir yang membumbung dari bumi ke langit, Idul Adha hadir bukan sekadar sebagai ritual tahunan, tetapi sebagai ruang refleksi paling mendalam atas makna hidup, pengabdian, dan kemanusiaan. Perayaan ini mengingatkan kita bahwa sejatinya, setiap kemajuan besar selalu ditandai dengan pengorbanan. Dan dalam konteks berbangsa, pengorbanan bukan hanya perihal materi, tetapi tentang bagaimana kita sanggup menanggalkan ego dan kepentingan pribadi demi cita-cita bersama.
Kisah monumental Nabi Ibrahim dan Ismail AS bukan sekadar penggalan sejarah spiritual. Ia adalah representasi puncak dari ketaatan dan keikhlasan yang mampu menembus batas logika manusia. Ketika seorang ayah rela mengorbankan anaknya atas perintah Tuhan, dan sang anak ikhlas menyerahkan dirinya, kita melihat dimensi pengorbanan yang tak bisa ditakar dengan ukuran duniawi. Justru di situlah letak makna terdalam Idul Adha—mengajarkan bahwa cinta dan taat kepada Tuhan tidak boleh digantikan oleh apapun yang fana.
Di zaman modern yang serba cepat dan kompetitif, nilai-nilai semacam itu kerap terpinggirkan. Orientasi hidup lebih banyak diarahkan pada kepentingan pribadi dan pencapaian individual. Maka, Idul Adha menjadi semacam pengingat spiritual bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pencapaian: kontribusi terhadap sesama, pengabdian terhadap nilai, dan perjuangan untuk kebaikan bersama.
Hewan qurban yang disembelih bukan hanya menyimbolkan kepatuhan, tetapi juga empati. Daging yang dibagikan bukan sekadar bentuk kebaikan, tapi simbol solidaritas yang melampaui batas sosial. Ia adalah pesan bahwa kesejahteraan harus dibagi, bahwa kebahagiaan tidak akan pernah lengkap jika masih ada saudara yang kelaparan. Maka dari itu, Idul Adha adalah momentum untuk mengikis jurang kesenjangan dan menyulam kembali ikatan kemanusiaan.
Lebih dari sekadar aspek sosial, semangat qurban juga harus merasuk ke dalam jiwa kebangsaan. Indonesia sebagai bangsa besar membutuhkan semangat pengorbanan yang lahir dari keikhlasan rakyatnya. Mengorbankan waktu untuk mendidik generasi muda, tenaga untuk membangun negeri, pikiran untuk mencari solusi bangsa, dan bahkan rasa nyaman demi tegaknya kejujuran serta keadilan—itulah qurban dalam makna kebangsaan.
Generasi hari ini dihadapkan pada tantangan multidimensi: kemerosotan moral, degradasi empati, dan krisis identitas. Maka, diperlukan generasi baru yang membawa semangat Ibrahim: kokoh dalam iman, bersih dalam niat, dan berani mengambil keputusan sulit demi kebaikan jangka panjang. Generasi yang tidak hanya mahir dalam teknologi, tetapi juga dewasa dalam budi pekerti.
Idul Adha juga menjadi cermin besar bagi para pemimpin. Apakah mereka masih menjunjung tinggi amanah atau telah terjebak dalam pusaran kekuasaan? Apakah mereka sanggup berkorban demi rakyat, atau justru memanfaatkan rakyat demi kepentingannya? Pengorbanan sejati dalam kepemimpinan adalah ketika seseorang rela mengorbankan popularitas demi kebenaran, mengorbankan kepentingan kelompok demi keadilan untuk semua.
Momentum Idul Adha adalah kesempatan untuk menggeser paradigma: dari egoisme menuju altruisme, dari keserakahan menuju kesederhanaan, dari ambisi pribadi menuju kemaslahatan bersama. Inilah saat yang tepat untuk menegaskan kembali bahwa bangsa yang kuat lahir dari masyarakat yang rela memberi, bukan hanya mengambil.
Semoga Hari Raya Idul Adha tahun ini menjadi momen kebangkitan spiritual dan moral bagi kita semua. Mari kita terus menyalakan semangat berkorban dalam kehidupan sehari-hari—bukan karena ingin dipuji, tapi karena itulah jalan menuju bangsa yang beradab, sejahtera, dan diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Semoga Allah SWT menerima segala amal ibadah dan pengorbanan kita, serta menjadikan kita bagian dari barisan orang-orang yang istiqamah di jalan kebenaran dan kemanusiaan(Yanti)

Posting Komentar