Tanjungpinang – Keputusan Gubernur Kepulauan Riau dengan Nomor B/8 00.1.13.2/5/BKDKopri Set/2025 yang menegaskan bahwa tenaga honorer yang telah berstatus sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) tidak berhak menuntut tambahan pendapatan dalam bentuk apapun menuai kritik tajam. Langkah ini dianggap mengejutkan sekaligus membingungkan, terutama bagi mereka yang telah lolos seleksi tahap pertama pada tahun 2024.
Salah seorang pegawai yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan rasa kecewanya terhadap kebijakan tersebut. Menurutnya, Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) merupakan elemen penting yang mendukung ekonomi para tenaga honorer, terutama setelah mereka berhasil melalui proses seleksi yang cukup ketat untuk menjadi bagian dari P3K. Ia merasa keputusan ini justru menghilangkan esensi keberadaan P3K sebagai ‘pra-PNS’ yang seharusnya menjamin hak-hak pegawai lebih baik dibandingkan status honorer.
“TPP itu sangat kami butuhkan. Bagaimana pun, itu bagian dari hak kami sebagai pegawai. Kalau pemerintah provinsi sedang defisit anggaran, jangan kami yang dikorbankan. Kami ini bekerja keras, menjalankan tugas-tugas penting, tapi justru hak-hak kami dihilangkan,” ungkapnya dengan nada penuh harap agar keputusan ini dapat ditinjau ulang.
Keputusan ini menjadi paradoks bagi banyak tenaga honorer yang masih berstatus non-P3K. Mereka justru mendapatkan TPP pada tahun 2024, sedangkan pegawai yang sudah beralih status menjadi P3K harus kehilangan hak tersebut. Hal ini menimbulkan kesan bahwa menjadi P3K bukanlah sebuah perbaikan nasib, melainkan justru sebuah bentuk kemunduran bagi tenaga kerja yang selama ini mengabdi kepada pemerintah.
Salah satu tenaga honorer senior menilai bahwa keputusan ini mencerminkan ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola status P3K secara adil dan transparan. “Seharusnya, P3K itu menjadi langkah awal menuju kesejahteraan yang lebih baik bagi tenaga honorer. Jika hak-hak seperti TPP dihapus, lalu apa bedanya kami dengan tenaga honorer biasa?” tanyanya retoris.
Kondisi Keuangan Pemerintah Diduga Jadi Pemicu
Beberapa pengamat menilai bahwa defisit anggaran yang dialami Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mungkin menjadi salah satu alasan utama di balik kebijakan ini. Namun, banyak pihak menganggap bahwa masalah anggaran tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengorbankan hak-hak pegawai, terutama mereka yang telah bekerja keras menjalankan tugas-tugas penting dalam pelayanan publik.
Menurut salah satu akademisi kebijakan publik dari Universitas Kepulauan Riau, langkah ini menunjukkan kurangnya prioritas pemerintah terhadap kesejahteraan tenaga kerja. “Kebijakan ini akan berdampak buruk pada motivasi kerja pegawai, terutama mereka yang baru saja bergabung sebagai P3K. Pemerintah harus menemukan solusi anggaran tanpa harus menghilangkan hak-hak esensial seperti TPP,” jelasnya.
Harapan untuk Gubernur
Para pegawai berharap agar Gubernur Kepulauan Riau dapat meninjau ulang keputusan tersebut dan mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan para tenaga P3K. Mereka menekankan bahwa meskipun tambahan pendapatan seperti TPP terlihat kecil, bagi banyak pegawai hal itu sangat berarti dalam menopang kebutuhan ekonomi sehari-hari.
“Pak Gubernur, tolonglah dengarkan suara kami. Jangan biarkan keputusan ini melemahkan semangat kerja kami yang sudah mengabdi untuk masyarakat,” ujar salah satu pegawai dengan penuh harap.
Keputusan ini kini menjadi sorotan publik, tidak hanya di kalangan tenaga honorer dan P3K, tetapi juga masyarakat luas yang mempertanyakan komitmen pemerintah dalam memperjuangkan kesejahteraan tenaga kerja. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau diharapkan segera memberikan penjelasan dan solusi konkret untuk mengatasi polemik ini, agar kepercayaan terhadap kebijakan publik tetap terjaga. (ARF).

Posting Komentar